Rabu, 22 Juni 2011

BISINGNYA MODERENISASI TAK LUNTURKAN JIWA KAMI


 
Hingar bingar serta euphoria perkembangan zaman saat ini telah memasuki tahap yang sangat serius. Derasnya arus informasi yang masuk ke masyarakat tidak terbendung sama sekali. Bagaimana tidak, perkembangan zaman pada era modern yang ditandai dengan perkembangan tekonologi informasi telah mampu “menghipnotis” masyarakat dari kota sampai ke tingkat desa. Terutama masyarakat yang tingal di desa, era modern saat ini telah merubah pola pikir serta perilaku masyarakat.  Masyarakat seakan menjadi terlena serta bingung dengan perubahan yang serba cepat ini. Menolak untuk tidak masuk pun tidak mungkin karena cara untuk menolaknya pun tidak tahu bagaimana seharusnya melakukannya. Akirnya pada pilihan menerima saja dengan apa adanya tanpa harus memalui sebuah proses seleksi.
Modernisasi sebenarnya perubahan-perubahan  masyarakat yang bergerak dari keadaan tradisional atau pra modern menuju kepada suatu masyarakat modern.  Apabila kita mengacu pada teori diatas sebenarnya perubahan yang terjadi dimasyarakat adalah suatu keharusan mengingat manusia (masyarakat) menginginkan sebuah perubahan kearah yang lebih baik, terutama dalam kebutuhan hidup pada setiap aspek tidak terkecuali. Misalnya keinginan memproleh pengetahuan, informasi, merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi selain kebutuhan primer, karena dibelahan dunia lain juga mengalami perubahan serta perkembangan serupa.
Sehingga hampir di semua balahan dunia manapun, perkembangan masyarakat dari tradisional kearah masyarakat modern dapat kita jumpai. Contoh konkrit yang paling gampang kita temukan adalah penggunaan telepon genggang hampir dilakukan semua lapisan masyarakat tidak terkecuali, tanpa lagi memandang status sosial, dari kelompok masyarakat kelas atas sampai kelmopok masyarakat kelas bawah apabila dari sisi ekonomi, belum lagi kita melihat dari sisi sosial dan politik. Kecendrungan masyarakat menggunakan telepon genggam bukan disebabkan oleh faktor sebagai sebuah kebutuhan tapi lebih pada faktor gengsi serta prestise. Pendek kata dalam pandangan masyarakat kalau dia bisa kenapa kita tidak bisa.   
Dalam pandangan era modern perubahan dalam hidup masyarakat adalah suatu keharusan mengingat masyarakat pada dasarnya menginginka perubahan dari pola hidup yang tradisional kearah yang lebih baik terhadap pemenuhan kebutuha hidup, berkemanusiaan, melakukan interaksi dengan santun dan bermartabat, menemukan hal-hal baru berupa inovasi, serta membentuk cara berpikir yang rasional. Tidak mengherankan memang, untuk berkomunikasi dengan jarak relatif jauh antar pulau atau antar daerah tidak begitu sulit dan butuh waktu singkat, semua informasi dapat dengan mudah diperoleh. Selain itu, dengan pola hidup yang sudah berubah, secara ekonomi masyarakat telah mampu melindungi diri dari bahaya kelaparan seperti yang pernah dialami pada tahun 70 an. Tidak berlebihan memang dampak positif dari modernisasi. Untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari saja masyarakat tidak perlu  susah mencari atau memproduksi dengan waktu yang relatif lama, bahwa kebutuhan tersebut telah tersedia di pasar-pasar modern dengan kemasan menarik serta tempat yang nyaman. Terutama masyarakat perkotaan, memandang bahwa modernisasi adalah sebuah perubahan yang mesti terjadi mengingat masyarakat perkotaan merupakan kelompok masyarakat yang sangat heterogen sehingga dibutuhkan norma-norma baru yang dapat mengikat satu sama lain sehingga tatanan masyarakat menjadi lebih nyaman. Akbitnya, dampak dari pola hidup masyarakat kota ternyata menjalar sampi ke tingkat desa, hal ini dimediasi oleh saluran TV yang menyiarkan secara gamblang  tanpa melalui proses seleksi yang akurat. Pergeseran nilai dan sikap tentu menjadi faktor pertama yang akan terjadi. Misalnya, pola hidup masyarakat kota yang cenderung individualistik dan  pola hidup yang konsumtif.
Oleh karena itu, muncul sebuah pertanyaan mendasar dari perubahan tersebut. Apakah moderenisasi merupakan kebutuhan mendasar untuk sebuah perubahan dalam hidup masyarakat  atau modernisasi hanyalah masa transisi menuju sebuah perubahan yang mendasar dari sendi kehidupan masyarakat sesungguhnya? Mengingat, dampak dari modernisasi masih sangat relatif  belum menjadi sebuah kemutlakan yang berarti. Dalam pandangan masyarakat kota modernisasi hal yang wajar, namun tidak demikian dalam pandangan masyarakat yang ada di desa, yang masih memegang prinsip tradisional terutama beragam kearifan  lokal sebagai kekayaan yang masih menjadi pilar penting dalam proses sebuah perubahan.  
Tanpa disadari oleh kita, arus modernisasi yang datang pelan-pelan mulai menggerus sedikit demi sedikit beragam kekayaan masyarakat tradisional. Hampir susah dijumpai oleh kita cirikhas kehidupan masyarakat tradisional (desa).  Sebut saja pola hidup gotong royong, tolong menolong serta kolektifitas yang melekat erat dalam kehidupan masyarakat desa sebagai warisan nenek moyang, karena warisan tersebut merupakan tonggak utama sebagai pilar perubahan pada masa lalu.  Secara teori, masyarakat tradisional adalah masyarakat yang kehidupannya masih dikuasai adat istiadat yang mengatur tindakan manusia dalam kehidupan sosialnya. Karena katergantungan yang tinggi pada kondisi alam, maka masyarakat tradisional (desa) secara kolektif mencari dan berupaya bagaimana seharusnya mereka lakukan agar eksistensi mereka tetap ada. Sehingga hidup dekat dengan alam menjadi sebuah keharusan  melalui ritual adat yang menjadi cirikhas utama.
Namun, masih adakah pola hidup kolektifitas/gotong royong sebagai cirikhas masyarakat desa dipertahankan di tengah bisingnya modernisasi yang datang tanpa mengenal waktu dan melewati batas wilayah suatu negara, desa dan kampung halaman kita saat ini? Cukup sulit untuk kita buktikan, kalau masyarakat desa sampai saat ini telah melupakan atau tidak lagi menghargai warisan nenek moyang sebagai kearifan lokal. Dalam beberapa kesempatan diberbagai kegiatan, ternyata kita masih sempat melihat atau menyaksikan pola hidup kolektifitas ala masyarakat desa. Di kabupaten Ende tepatnya di desa Wolosambi kecamatan Lio Timur, bagaimana kita dapat menjumpai masyarakat desa secara gotong royong membangun Pos Kesehatan Desa (POSKESDE)  serta tempat bagi anak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Berawal dari musyawara mufakat ala masyarakat desa, disepakti  bersama yang dipimpin oleh tokoh adat dan tokoh masayarakat untuk mengerjakan bangunan tersebut oleh masyarakat  yang berasal dari beberapa kampung di desa Wolosambi. Tampak jelas sekali semangat yang ditunjukan oleh laki-laki, perempuan mengerjakan bangunan tersebut dengan rasa persaudaraan yang tinggi serta saling melayani satu sama lain. Sementara dibagian lain, kelompok dapur sebagai kelompok penyuplai konsusmsi bersama, tampak beberapa ibu-ibu serta laki-laki saling menolong satu sama lain dengan rasa persaudaraan agar pekerjaan yang dikerjakan dapat terlaksana dengan baik. Apabila kita menganggap ritual adat telah pudar tergerus oleh arus modernisasi, ternyata salah besar. Pada kesempatan pertama pembangunan gedung tersebut, ternyata didahului dengan pemberkataan oleh tokoh agama dan dilanjuti dengan peletakan batu pertama oleh tokoh adat sebagai isyarat meminta bantuan para leluhur (nenek moyang) untuk memuluskan rencana pembangunan gedung tersebut berjalan dengan aman dan lancar.
Sesungguhnya masyarakat desa pada beberapa tempat, masih menampilkan pola hidup yang kolektif/gotong royong serta masih menjunjung tinggi adat isti adat. Fakta empirik diatas  menunjukan bahwa derasnya arus modernisasi yang masuk pada kehidupan masyarakat desa bukan berarti langsung memudarkan nilai-nilai luhur atau hilang tanpa bekas. Bahwa memang ada beberapa nilai-nilai tertentu pudar dari kebiasaan hidup masyarakat, tapi sesungguhnya warisan hidup yang diberikan oleh para leluhur sampai saat ini masih tetap dipertahankan. Ada beberapa poin penting yang melatarbelakangi kenapa masyarakat desa masih menjunjung tinggi, kebiasaan pola hidup masyarakat tradisional, Pertama, masyarakat memandang bahwa antara alam dengan manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Manusia pada hakekatnya sangat tergantung pada alam beserta isinya. Kedua, pada satu kesempatan nanti, antara manusia yang satu dengan yang lain tidak dapat hidup sendiri. Pada kondisi normal, memang antara satu orang dengan yang lain boleh hidup secara individualistik, namun ketiak terjadi musibah maka seketika akan saling memabantu satu dengan yang lain. Ketiga, bahwa apapun perubahan yang terjadi, sifatnya hanya sementara, tidak pernah tetap. Karena manusia adalah makluk yang paling tinggi derajat dari makhluk lain di bumi, sehingga rasa penasaran serta rasa tidak puas membuat manusia terus  melakukan sesuatu perubahan sesuai dengan nalurinya. Keempat, perubahan apapun yang terjadi tidak selamanya dipandang baik. Karena apapun perubahan yang terjadi kemutlakan hanyalah relatif.
Oleh karena itu, paling utama yang harus kita lakukan dalam menjaga kelestarian serta eksistensi pola hidup budaya lokal dari sergapan budaya modernisasi yang datang dari kota yakni masyarakat desa itu sendiri harus mulai lagi menghidupkan kembali beberapa kearifan lokal yang dianggap telah pudar, dengan melibatkan semua unsur yang ada di dalam masyarakat, termasuk generasi muda. Kenapa demikian, generasi muda dipandang perlu mengetahui,  mengingat mereka adalah pilar berikutnya sebagai pelaku utama dalam melestarikan warisan tersebut. Sehingga, apapun informasi atau perkembangan budaya dari luar yang masuk, mereka dapat menangkal serta mampu memilih yang terbaik untuk kekayaan kearifan lokal sebagai suatu kekuatan utama perubahan masyarakat desa.       

Minggu, 29 Mei 2011

MENELUSURI JALAN MEMBELAH KABUT UNTUK SEBUAH CITA-CITA


Hari itu udara dingin menyelimuti wilayah kawasan kota Ende dan sekitarnya. Tidak berapa lama hujan turun dengan derasnya membasahi tanah serta pohon-pohon. Seskali terdengar bunyi gemuruh di langit  diikuti petir yang silih berganti datang menghampiri isi bumi.

Tepat jam 14.00 wita dengan meggunakan mobil kijang butut , kami menyusuri jalan sambil sesekali melihat ke arah langit yang masih hitam pekat. Rasa ragu dan wawas selalu menghantui perjalanan kami. Hari ini rute perjalanan menuju arah timur kota Ende dengan jarak cukup jauh sekitar 95 km, tepatnya kecamatan Lio Timur desa Wolosambi.

Ada sebuah misi yang harus direalisasikan. Menurut informasi yang diperoleh dari tim kami yang ada di desa Wolosambi, bahwa masyarakat desa tersebut sangat menginginkan perubahan terutama adalah bidang pendidikan. Apa sebab, pertama, menurut catatan lapangan menujukan bahwa desa Wolsambi belum memiliki wadah pendidikan bagi anak usia dini. Kedua, hampir semua anak usia dini yang masuk kelas I sekolah dasar tidak bisa sama sekali mengenal huruf, bernyanyi, atau membaca puisi. Oleh karena itu, menurut masyarakat desa Wolosambi beserta pemerintah desa sangat menginginkan wadah tersebut untuk menjadi bekal anak mereka sebelum masuk sekolah dasar.

Hujan belum juga reda ketika kami memasuki kawasan Detosoko. Padahal menurut informasi yang kami peroleh dari rekan kami yang ada di kawasan tersebut kalau hari ini langit cerah dan tidak ada hujan. Ternyata meleset jauh prakiraan itu, maklum saat ini memang hujan turun tidak mengenal musim padahal sekarang sudah memasuki bulan Mei seharusnya menurut jadual sebenarnya harusnya sudah memasuki musim panas. Apa itu karena perubahan iklim, entahalah.

Setelah meninggalkan wilayah Detusoko, informasi terbaru pun kami peroleh, kalau saat ini masyarakat di desa Wolosambi sudah menunggu kami untuk berdiskusi dan bercerita serta apa solusi yang tepat untuk perubahan yang cocok bagi desa tersebut dalam bidang pendidikan untuk anak usia dini. Selama perjalanan tidak henti-hentinya kami bercerita dan berdiskuksi kira-kira bagaimana ide yang pas bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan tersebut sehingga masyarakat harus merasa memiliki. “Bagaimana untuk material lokal ditanggung oleh masyarakat sedangkan material non lokal ditangung oleh FIRD, ungkap Saverius Bapa selaku fasilitator di kawasan tersebut.

Setelah sampai di Wolowaru, hujan pun belum reda benar. Nampak rintik-rintik hujan masih membasahi bumi. Kabut tebal masih menghiasai langit serta genangan air ada di setiap  tepi jalan. Sekitar 25 km lagi kami akan tiba di Wolosambi, lumayan jauh memang mengingat jalan yang dilewati bayak kelokan serta masih ada titik yang rawan longsor yang harus kami lewati.

Tepat pukul 17.00 wita kami pun tiba dikampung Pu’u jita. Masyarakat sudah  berkumpul di rumah ketua RT kampung tersebut. Ada perempuan, laki-laki, orang tua, anak muda, anak-anak serta beberapa tokoh masyarakat yang hadir saat itu. Sama seperti di Ende dan Wolowaru, di kampung Pu’ujitapun hujan masih gerimis  diselimuti kabut yang cukup tebal serta di tepi-tepi jalan nampak genangan air hujan. Kelompok masyarakat yang datang pun dari semua kampung yang ada di desa Wolosambi. Sebut saja Tebowea, Jitapanda, Wolofeo, Wolosambi dan Pu’ujita, padahal kedatangan mereka dari kampung masing-masing ditemani  oleh gerimis hujan  serta menggunakan payung seadanya.

Sambil menunggu suguhan kopi serta teh hangat, diskusi pun dimulai yang diawali oleh bapak Jhoni dan diikuti oleh bapak Frans Buku selaku Badan Perwakilan Desa (BPD). Sayang pada diskusi ini tidak dihadiri oleh kepala desa karena beliau ada tugas. Hari pun makin malam diskusi pun terus berjalan. Di temani lampu neon 10 wat yang dialiri dari genset milik warga,  diskusi dilanjuti dengan tanya jawab serta bagaimana komitmen masyarakat untuk merenovasi gedung Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) serta Pos Kesehatan Desa (POSKESDES).  Tanpa melalui rembuk bersama, salah seorang peserta diskusi memberikan jawaban, bahwa: masayarakat siap untuk membangun gedung PAUD dan POSKESDES dengan cacatan untuk bahan non lokal ditangung oleh FIRD sedangkan bahan lokal ditanggung oleh masyarakat secara swadaya.

Suguhan kopi serta teh hangat sedang diedarkan kepada para peserta diskusi, kepastian yang harus diputuskan adalah kapan mulai dibangun mengingat pada bulan Juni minggu kedua  tahun ajaran baru akan dumulai, sehingga keputusan  diambil  tanggal 20 Mei 201 renovasi gedung  yang diikuti oleh semua lapisan masyarakat desa Wolosambi serta pejabat pemeintahan kecamatan Lio Timur serta beberapa undangan yang lainya.

Untuk diketahui saja, sampai saat ini  PAUD  masih menggunakan bangunan lama milik POSKESDES  desa Wolosambi dengan kondisi bangunan yang alakadarnya saja. Padahal minat orang tua untuk menyekolakan anaknya sangat tinggi. Sampai saat ini jumlah siswanya saja 20 orang termasuk di dalamnya 2 orang anak cacat. Walaupun letak PAUD dengan kampung-kampung cukup jauh, namun antusias orang tua untuk megantar anaknya masih sangat tinggi. Tercatat, kampung yang paling jauh saja di Wolofeo dengan kondisi jalan yang terjal dan tanjakan   mereka masih mau mengantar anaknya setiap pagi selama lima hari. Padahal dikampung tersebut ada satu anak cacat yakni cacat fisik harus jalan kaki setiap pagi.

Selepas diskusi sekitar pukul 21.00 wita, rasa lapar sangat  terasa dari pancaran raut wajah. Mereka pun bergegas pulang  ke rumah dengan membawa semangat untuk membangun desa   dan menelusuri jalan dan membela kabut malam untuk menyongsong desa Wolsambi yang lebih baik  dari  hari kemarin….

che

Kamis, 07 April 2011

KAMI BELAJAR KESEHATAN TAPI KENAPA HARUS BELAJAR TENTANG BENCANA?

  Bagi masyarakat awam terasa sangat janggal kalau Akademi Perawat belajar ilmu bencana. Kira-kira apa hubungannya? Padahal yang harus mereka pelajari tentang obat-obatan atau penyaki t.

Akademi Perawat Ende biasa dikenal dengan AKPER Ende, telah mengintegrasikan ilmu bencana kedalam kurikulum sekolahnya. Ada beberapa alasan, Pertama, berdasarkan pengalaman wisudawan/i angakatan terdahulu, eks tamatan AKPER Ende masih  minim pengetahuan  tentang kebencanaan, mengingat ketika terjadi bencana mereka kebingungan melakukan pertolongan yang bersifat massal. Kedua, Flores dan Kepulauannya merupakan daerah yang sangat rentan dengan bencana baik bencana alam sampai bencana non alam. Ketiga, Fenomena bencana di Indonesia yang sangat sering terjadi membuat para akademisi AKPER Ende untuk segera memasukan pengetahuan tentang kebencanan kedalam mata kuliah.

“Memang kami baru mulai menerapkan ilmu kebencanaan ini ke dalam kurikulum  sekolah,  sekarang kami terapkan di semester V, ungkap Sislaus Bendu salah seorang dosen yang mengajar di AKPER Ende. Kami berharap, ungkapnya lagi, pada tahun ajaran yang akan datang yakni 2011 dan seterusnya akan dimulai dari semester I, mengingat pengetahuan akan kebencanaan harus diberih lebih awal kepada mahasiswa, karena bencana datang tidak pernah mengenal waktu. Sehingga setelah tamat nanti mereka sudah mempunyai pengetahuan yang cukup tentang bencana. 

AKPER Ende dalam merumuskannya mempunyai beberapa capaian, yakni: Pertama, agar pemahaman tentang bencana dapat diberikan lebih awal kepada mahasiswa sehingga mereka mampu mengaplikasikan kepada masyarakat yang berhubungan dengan kesehatan. Kedua, Setelah tamat nanti mahasiswa AKPER mampu memetakan ancaman yang ada di tempat tugasnya, sehingga risiko yang timbul dapat diminimalisir terutama yang berkaitan dengan kesehatan. Ketiga, menjadikan AKPER Ende sebagai model bagi  AKPER di  provinsi NTT.

Memang masih panjang proses yang harus dilakukan oleh jajaran akademisi, namun tidak salah juga kalau harus memulai dari sekarang. Saat ini mata kuliah yang diajarkan  adalah manajemen bencana, yakni pemetaan terhadap daerah  yang rawan bencana di setiap kecamatan yang ada di kabupaten Ende. Sementarra itu porsi perbandingan antara teori dan praktenya sekitar 70% untuk teori serta 30% praktek.

Untuk menguatkan kapasitas serta nama besar, dalam waktu dekat AKPER Ende akan bekerja sama dengan Dinkes, Badan Penanggulanagn Bencana Daerah (BPBD) serta beberapa pihak lain yang dianggap mempunyai relevansi terhadap pengembangan AKPER Ende yang lebih maju.

Penerapan mata kuliah ini di AKPER dieharapkan, setelah tamat nanti mahasiswa/i dapat mengaplikasikan ilmu dan pengetahuan yang diperoleh kepada masyarakat sehingga risiko yang timbul dapat diminimalisir terutama korban jiwa yakni anak-anak, lansia serta para penyandang cacat sebagai komponen paling rentan ketika terjadi bencana…….viva AKPER Ende

SAYA AKAN COBA TERAPKAN PADA SISWA DI SEKOLAH KAMI


 
 Berbicara tentang pengurangan risiko bencana merupakan upaya atau cara apa yang harus dilakukan, sehingga risiko yang ditimbulkan dapat diminimalisir. Oleh karena itu, pada tahap awal yang harus dilakukan adalah sosialisasi pengetahuan tentang kebencanaan ke seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali sekolah-sekolah, termasuk sekolah dasar.
Berikut petikan wawancara Gong Flores dengan Ibu Ivon Alfonsa staf pengajar di SDK Mano I kecamatan Pocoranaka kabupaten Manggarai Timur.

Selamat Pagi Ibu? GF
Selamat pagi.

Apa pendapat Ibu, ternyata sekolah anda termasuk dampingan FIRD dalam program pengurangan risiko bencana? GF
Secara pribasi saya sangat senang, walaupun guru tapi pengetahuan tentang bencana masih asing buat saya. Saya cuma tahu bencana dari TV, Koran  serta Radio saja. Setelah saya mengikuti pelatihan dari FIRD baru  saya tahu pengetahuan tentang bencana.

Kira-kira apa yang menarik dari pealtihan tersebut. GF
Jujur saja sebelum mengikuti pelatihan saya belum bisa membedakan antara bencana dengan ancaman. Kemudian,  saya baru tahu kalau bencana itu dapat dikurangi risikonya .

Misalanya apa. GF
Ketika saya mengikuti pelatihan,  itu juga merupakan salah satu tindakan mitigasi, masksudnya, ketika seseorang atau kelompok masyarakat mempunyai pengetahuan yang cukup tentang bagaimana mengurangi risiko bencana maka dia telah melakuakn tindakan mitigasi.

Nah kalau di sekolah, kira-kira bagaimana anda melakukannnya. GF
Kebetulan saya sendiri wali kelas III,  yang dapat saya lakukan adalah menyesuaikan saja dengan beberapa matapelajaran yang berhubungan dengan lingkungan sekitar kita. Misalnya di pelajaran IPA ada pokok pelajaran tentang gempa bumi maka saya dapat menceritakan dengan bencana  terjadi yang berhubungan dengan gempa. Atau kalau belajar tentang mengenal alam sekitar dapat kita masukan dengan kejadian banjir, tanah longsor yang sering terjadi. Kemudian saya juga menceritakan kepada siswa, bagaimana melakukan penghijauan di daerah yang rawan dengan tanah longsor.

Hari ini ada simulasi di sekolah anda, bagaimana perasaan Ibu? GF
Saya sangat senang, karena apa yang kami ajarakan kemarin tentang pengurangan risiko bencana kepada siswa langsung dipraktek sehingga lebih mengerti terutama bagaimana seharusnya mereka lakukan apabila terjadi gempa bumi saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Selain siswa juga buat kami para guru, kami juga memahami bagaimana seharusnya kami menyelamatkan diri kami saat terjadi bencana.

Kalau di desa Gololobos ini, apa ancaman yang senantiasa akan terjadi?
Yah, gunung api Pocoranaka.

Terima kasih atas waktunya GF
Terima kasih juga
  




Senin, 04 April 2011

CERITA PENDEKAR CILIK DARI MANGGARAI


Nama saya Rista
SDK Mano  I Kelas VI
….pertama-tama saya ucapkan terimakasih kepada kawan-kawan dari sekolah lain yang sudah datang ke sekolah kami (SDK MAno I)
….memang selama ini saya kenal bencana dari tv, Koran dan radio. Setelah mengikuti simulasi ini saya senang karena mendapat pengetahuan , teman-teman baru. Terutama tentang bencana, pengetahuan ini akan saya simpan didalam pikiran saya sebagai bekal bagi saya dan teman-teman untuk berjaga-jaga apabila terjadi bencana nanti…

...yah rasa lelah, haus serta lapar, taapi kami tetap bahagia
 

Nama saya Fransiskus
 SDK Wesang Kelas V
…..awalnya kami mendapat pengumuman dari guru untuk mengikuti simulasi bencana di SDK Mano I.

.….saya senang sekali dengan kegiatan ini, memang di desa saya ada bencana longsor. Saya dan kawan-kawan mendapat banyak pengetahuan tentang bencana, karena selama ini hanya mengetahui dari tv saja dan dari Koran.

…..memang ada juga rasa lelah, haus, lapar juga rasa bahagia karena di sini (SDK MANO  I) saya dapat berkenalan dengan teman-teman dari sekolah lain.
 

Nama saya Yupi SD Bealaing Kelas V
…..baru kali ini saya ikut kegiatan simulasi bencana. Pada awal di ajak oleh guru sekolah kami, dalam hati kecil saya bertanya kira-kira yang harus kami lakukan apa nanti.
…..Saya sangat senang mengikuti simulasi ini, karena saya dapat berkenalan dengan tema-teman dari sekolah lain. Selain itu, dalam simulasi ini saya mendapat banyak pengetahuan tentang bencna terutama bencana gunung api.
…...Pasti ada rasa lelah, haus, lapar.
…..Selama ini saya dengar tentang bencana hanya dari tv saja, tapi saat ini saya langsung praktek bagaiman harus menghadapi bencana.
………..disekolah kami memang diajarkan  ilmu pengetahuan alam yang behubunghan gunung api, gempa, banjir…..

Selasa, 22 Maret 2011

kOMUNITAS WATUNESO BERTEKAD PERANG TERHADAP BENACANA

Tanggal 11 Maret 2011 memang hari begitu naas bagi saudara kita yang bertempat tinggal di kecamata Lio Timur. Hujan yang mengguyur selama 4 jam ternyata menghadiakan masyarakat dengan kehadiran banjir bandang yang memporakporandakan tanaman pertanian serta tanaman komoditi masyarakat. Tercatat, banjir bandang mengamuk di 2 desa dan satu kelurahan, yakni desa Woloaro, Hibatuwa serta kelurahan Watuneso, dengan kerugian yang dialami sekitar ratusan juta. 

Belajar dari pengalaman,  masyarakat mulai sadar akan bahaya, berawal dari keinginan  sekelompok masyarakat melakuakn kerja bhakti  disekitar DAS Watuneso. Karena menurut hasil pengamatan dari beberapa kelompok masyarakat termasuk di dalamnya tokoh adat (Mosalaki) Watuneso bahwa risiko yang diredam dari banjir beberapa hari lalu karena masih kokohnya tembok penyokong serta  bronjong yang dibangun di pesisir DAS Watuneso. Sehingga, menurut hasil pengamatan maysarakat beberapa lahan pertanian serta komoditi disepanjang sungai masih terselamatkan. "Iya benar sekali kami sangat beruntung dengan adanya tembok ini kalau tidak ada tembok ini mungkin air akan masuk ke kampung karena posisi kampung lebih rendah, ungkap Bapak Jhoni mosalaki Watuneso.    

Jumat, 18 Maret 2011, hampir sekitar liampuluhan orang masyarakat Watuenso bergotong royong membangun kembali tembok penyokong yang hampir rubuh akibat dari hantaman banjir. Tua, muda, laki-laki, perempuan turut ambil nagian dalam kerja tersebut. Kalau tembok ini tidak segera disokong dengan batu-bari di sisi dekat dengan air maka kalau terjadi banjir lagi tembok ini akan hancur dan terbawa banjir, ungkap salah satu peserta perempuan yang hadir saat itu.

Peran Adat
Pada kesempatan yang sama, ketika tim kami berhasil berdiskusi dengan tokoh adat Watuneso bapak Jhoni, dalam  kesempatan itu juga , ada keinginan yang kuat dari beliau untuk kembali menegakan beberapa aturan adat yang sangat berhubungan dengan alam semesta. Menurutnya lagi, dalam waktu yang t idakterlalu lama beliau akan menghimpun semua keluarga besar Watineso (Faiwalu  ana halo)  termasuk keluaraga besar yang terdiri dari beberapa rumpun keluarga sebut saja salah satu rumpun keluarga Iju Mbeke untuk berkumpul bersama dengan rumpun keluarga yang lain secara bersama-sama melakukan satu kegiatan besar, yakni melakukan penanaman anakan bambu disepanjan DAS Watuneso sejauh 4 km. Karena menurutnya lagi, apabila disepanjang DAS ini ditanami tanaman bambu maka, risiko yang ditimbulkan akibat dari banjir dapat diminimalisir. Selain itu, memang sangat dibutuhkan kerjasama yang baik antara pemerintah desa, tokoh adat serta semua kelompok masyarakat sehingga kejadian banjir yang terjadi satu minggu yang lalu dapat dihindari. 
che





  

BANJIR BANDANG DI KECAMATAN LIO TIMUR 11 MARET 2011












Rabu, 02 Maret 2011

Info

Perubahan iklim akan berdampak pada kehidupan kita seperti:
1. Ketahanan Pangan Terancam: Produksi pertanian tanaman pangan dan perikanan akan berkurang akibat banjir, kekeringan , pemanasan dan tekanan air, kenaikan air laut, serta angin yang kuat. Perubahan Iklim juga akan memperngaruhi jadwal panen dan jangka waktu penanaman. Peningkatan suhu 1 derajat Celsius diperkirakan menurun panen padi sebanyak 10%
2. Dampak lingkungan: Banyak jenis makhluk hidup akan terancam punah akibat perubahan iklim dan gangguan kesinambungan wilayah ekosistem. Terumbuh karang akan kehilangan warnah akibat cuaca panas, menjadi rusak atau bahkan mati karena suhu tinggi.
3. Risiko Kesehatan: Cuaca yang ekstrim akan mempercepat penyebaran penyakit baru dan bisa memunculkan penyakit lama. Badab kesehatan PBB memperkirakan bahwa peningkatan suhu dan curah hujan akibat perubahan iklim sudah menyebabkan kematian 150.000 jiwa setiap tahun. Penyakit seperti malaria , diare, dan deman berdarah diperkirakan akan meningkat di negara tropis seperti Indonesia.
4. Air: Ketersediaan air berkurang 10%-30% di beberapa kawasan terutama di daerah tropik kering. Kelangkaan air akan menimpa jutaan orang di Asia Pasifik akibat musim kemarau berkepanjangan dan intrusi air laut ke daratan.......

SENTUHAN TANGANMU DAMAIKAN HATIKU

 
Cukup dingin udara siang itu di desa Golo Lobos. Angin sepoi-sepoi selalu datang menyapa siapapun tamu yang datang. Lima menit ketika kami mengijakan kaki di desa tersebut, sesaat itu juga puncak gunung Pocoranaka menunjukan dirinya tanpa beralasakan sebatang pohon pun yang menghiasi puncak gunung tersebut.
Dibalik rumah mungil muncul ibu muda, dengan penampilan apik, Redaksi Gong Flores menyapa. Dengan senyuman yang khas ibu itu lalu duduk sambil memperhatikan sekeliling, karena merasa dirinya menjadi pusat perhatian. Benar saja karena Ibu Ida Widyawati dalam waktu 30 menit akan ditanyai oleh Gong Flores tentang partisipasinya mengikuti pelatihan Pertolongan Pertama Gawat Darurat (PPGD).
Saya merasa ada yang beda setelah saya pulang dari Ende setelah mengikuti pelatihan PPGD, walaupun tidak semuanya saya tahu tapi lumayan buat kami yang ada di desa belajar tentang pertolongan pertama.. Sambil duduk di teras rumah ditemani dinginya angin, banyak hal yang saya peroleh dari pelatihan tersebut karena disana (Ende) saya dapat bertukar informasi, pengetahuan serta pengalaman dengan kwan-kawan dari Ende, Lembata yang mungkin punya pengalaman yang beda dengan kami di Manggarai. Terutama saat praktek, ternyata bambu atau batang pisang bisa juga dipakai untuk menolong korban patah tulang sebelum di bawah ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. Selain itu saya juga mengetahui bagaimana seharusnya menolong korban pingsan, terutama langkah-langkah yang harus dilakukan dari awal sampai akhir.
Ada satu kesan yang palig unik menurut saya selama mengikuti pelatihan,, yakni rasa keakraban serta suasana kekeluargaan sangat dijunjung tinggi, padahal kami datang dari wilayah yang berbeda........
Sedikit rasa malu-malu ketika ditanya tentang dirinya mampu mengfasilitasi setelah pulang pelatihan dari Ende, Ibu dengan usia 37 tahun memaparkan, sebenarnya saya sendiri agak ragu apakah saya bisa memberi pelatihan kepada masyarakat desa Golo Lobos , namun berbekal dorongan dari suami serta semangat untuk melayani akhirnya pada tanggal 16 Desember 2010, bertempat di kantor desa saya dibantu oleh rekan-rekan Community Oragnizer (CO), mulailah saya memberikan materi kepada masyarakat desa yang diawali dengan paparan tentang tujuan dari pelatihan tersebut serta capaian dari pelatihan PPGD.
Pada saat peragaan, masyarakat merasa heran kalau bahan lokal seperti bambu, batang pisang dapat menjadi alat yang dapat membungkus korban patah tulang atau tangan. Selama ini masyarakat belum mengetahui secara betul teknik-teknik khusus menolong korban yang pingsan, serta bagaimana mengangkat korban yang tidak bisa berjalan serta menggendong korban.
Ketika menjawab pertanyaan yang ditanya tentang perasaan setelah melatih masyarakat, dengan senyum yang lembut dari ibu yang kini sudah mempunyai 3 orang anak ini, saya merasa puas dan bangga kalau saya dapat memberikan pengetahuan atau pengalaman saya kepada masyarakat di desa, dan dalam hati kecil saya berkata kalau kita mau belajar ternyata kita bisa juga melakukan sesuatu untuk kepentingan masyarakat banyak terutama masalah kemanusiaan. Apabila ada kesempatan lagi memberikan informasi atau pengetahuan kepada orang lain, dengan senang hati saya akan melakukan dengan tulus ...................che

SAYA MERASA SENANG KARENA BISA MEMBANTU ORANG LAIN

Bencana memang tidak mengenal orang, waktu serta status sosial kita, ketika datang dan menerjang kita. Namun kita sebagai manusia harus selalu waspada serta mengantisipasinya agar risko yang ditimbulkan dapat ditekan seminim mungkin kalau perlu tidak ada.
Berikut ini petikan wawanacara Redaksi Gong Flores dengan Ibu Maria Sirce Demo Community Organizer (CO) desa Gololobos Kecamatan Pocoranaka kabupaten Manggarai Timur.
 
Selamat Pagi Ibu apa kabar :GF
Selamat pagi juga, kabar baik
 
Kenapa ibu tertarik sebagai pendamping pada program bencana di desa Gololobos? GF
Terus terang saya sangat merasa terimakasih kepada pemerintah desa saya serta TIM FIRD Manggarai karena mereka sudah percayakan saya sebagai Community Organizer. Banyak hal serta pengetahuan yang saya peroleh dari mengikuti kegiatan ini. Jujur saya selama ini belum kenal dengan istilah bencana hanya kenal saja tapi tidak paham apa itu bencna sebenarnya serta bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengurangi risikonya.
 
Kira-kira menurut ibu bencana apa yang ada di desa ibu apabila terjadi nanti? GF
Setelah saya pelajari dari FIRD, dikatakan bencana kalau ada risiko yang ditimbulkan kalau belum ada maka itu disebut ancaman. Nah kalau di desa saya ancaman nyata yang ada yakni gunung api Pocoranaka serta tanah longsor. Kedua ancaman ini sangat berpotensi terjadi sewaktu-waktu. Gunung Pocoranaka misalnya pernah meletus 1987, kalau tanah longsor, Manggarai ini sangat rentan karena tanah di desa kami sangat labil strukturnya. Apalagi musim hujan seperti sekarang ini kami sangat waspada terutama hujan sudah berlangsung 2-4 jam.
 
Selama bergabung dan punya pengetahuan cukup, apa yang dapat ibu lakukan di desa? GF
Sudah lumayan cukup pengetahuan yang diperoleh walaupun tidak menguasasi seluruhnya namun saya sudah percaya diri untuk melakukan di desa saya. Saya kadang-kadang inisiatif langsung datang ke dusun-dusun mengsosialisasi dan berdiskusi dengan masyarakat di dusun terutama orang-orang tua yang ada dan menanyakan peristiwa-peristiwa apa saja yang pernah terjadi 10-20 tahun kebelakang.
 
Kenapa harus sosialisasi dan diskusi? GF
Karena saya merasa kalau masyarakat belum mengetahuai pengetahuan dasar tentang bencana maka sangat sulit kita mengajak mereka untuk melakukan sesuatu untuk mencegah terjadi bencana. Nah saat sosialisasi saya dapat berdiskusi dan kira-kira saya dapat mengetahui bagaimana respon masyarakat. Karena untuk mengurangi risiko bencana masyarakat harus lebih dahulu mengetahui ancaman , kerentanan, serta kapsitas yang dimiliki di desa.
 
Apa tindakan konkrit yang sudah ibu lakukan di desa Gololobos? GF
Di desa Gololobos, kami sudah membentuk Tim Siaga Bencana Desa atau TSBD serta beberapa rencana aksi masyarakat yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini. Dan setiap bulan kami melakukan diskusi-diskusi tentang bencana dan penyebabnya serta berubahan iklim yang saat ini lagi ramai dibicarakan.
Apa dasar pemikiran sehingga ibu bersama rekan membentuk TSBD serta diskusi tiap bulan di desa? GF
Saya sendiri sebelum bergabung dengan program ini juga bingung kira-kira apa yang harus dilakukan oleh masyarakat apabila terjadi bencana, karena informasi yang saya lihat dan saya baca di media tentang bencana ternyata sangat takut dan sedih apabila ada korban jiwa dari keluarag kita. Nah atas dasar itulah saya beranggapan kalau masyarakat di desa saya harus mengetahui lebih banyak tentang kebencanaan. Setelah bergabung dengan FIRD ada bekal ilmu yang diperoleh maka di desa kami ternyata harus punya wadah/oraganisasi yang menangani bencana. Berdasarkan musyawara mufakat di kantor desa, akhirnya kami membentuk TSBD.

Apa suka dan duka yang ibu alami selama bergabung dengan FIRD? GF
Jujur saya harus katakan bahwa selama bergabung banyak hal yang saya alami. Misalnya ketika pertemuan yang dinjanjikan tiba-tiba batal saya sangat emosi apalagi saya sudah bilang ke suami dan anak-anak kalau hari rabu (misalnya) kami ada pertemuan di dusun. Kalau sukanya , menurut saya dan saya pikir selama ini bahwa pengetahuan serta pengalaman seperti ini sangat sulit kita peroleh secara cuma-cuma. Terus selama mengikuti kegiatan ini saya menjadi lebih berani berbicara di hadapan orang banyak.
 
Apa kesan yang paling ibu rasakan selama mengikuti kegiatan ini?GF
Ternyata memimpin orang banyak tidak gampang dan butuh kesabaran, dan satu lagi harus bijak .
 
Bagaimana dukunga dari keluarga? GF
Terutama suami saya dia sangat mendukung dengan tugas yang dilakukan oleh saya, dan selalu berpesan selalu jaga diri baik-baik, hati-hati. Sedangkan ke 4 anak saya mereka merasa bangga punya ibu yang masih peduli dengan masalah kemanusiaan serta senang dan tanpa beban menghadapi rutinitas yang harus menghadapi orang banyak.
 
Terimaksih ibu atas waktunya, GF
Terimakasih juga...semoga sukses selalu.....