Kamis, 20 Januari 2011

DUKA NANGAHALE


Pulau Flores merupakan salah satu pulau di Nusa Tenggara Timur yang selalu akrab dengan bencana. Bencana selalu terjadi di mana-mana. Beberapa tahun terakhir sudah terjadi berbagai jenis bencana alam yaitu gelombang pasang, banjir, tanah longsor, dan konflik. Semuanya terjadi karena alam yang kurang bersahabat dan juga kekeliruan pun kesalahan manusia yang mengelola alam dengan tidak benar. Ada yang terkejut dari tidur lelap, terantuk di saat dalam perjalanan, dan ada juga yang terlena atau bahkan terserah pada apa saja yang terjadi menimpa diri sendiri, keluarga, dan sesama yang lain. Dengan rupa-rupa bencana yang menggendong serta akibat-akibat destruktif membuat masyarakat harus sadar, tahu, dan mengerti serta insyaf sambil melakukan berbagai macam hal bermuara pada usaha penanggulangan risiko bencana.
Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 11 Januari 2011, sebuah peristiwa bencana terjadi di desa Desa Nangahale – Kecamatan Talibura – Kabupaten Sikka. Bencana yang terjadi adalah gelombang pasang. Yang menjadi akibat dari gelombang pasang itu adalah terjadinya pengungsian. Yang mengungsi ada 249 jiwa. Balita ada 35 orang, anak-anak ada 75 orang, ibu hamil ada 2 orang, ibu menyusui ada 24 orang, dan lanjut usia ada 3 orang. Yang ada di tenda pengungsian terdapat 18 kepala keluarga (77 jiwa). Dari jumlah tersebut, bayi/balita ada 44 orang, ibu menyusui ada 8 orang, dan sisanya adalah orang dewasa (25 0rang). Akibat lain dari gelombang pasang itu adalah rusak/hilangnya beberapa asset kehidupan masyarakat, seperti rumah, rumah garam, tanaman, dan bangunan sekolah. Dari tempat kejadian dilaporkan bahwa bantuan makanan yang tersisa hanya ada 200 kg beras dan mie 11 dos

Sampai berita ini diturunkan, masih banyak kekurangan yang harus dipenuhi warga, teruta,a kebutuhan pokok, seperti beras, air bersih, serta kebutuhan pangan lainnya. Selain itu kondisi para pengungsi saat ini masih berada di lokasi pengungsian serta rumah penduduk yang tidak terkena musibah abrasi pantai. Sampai saat jumlah pengunsi mencapai 200 orang. 

Senin, 17 Januari 2011

DERAP LANGKAH UNTUK CERDASKAN ANAK DESA

Letih, putus asa serta rasa marah selalu menghinggapi hati kecil seorang bapak yang berdiam di desa Wolosambi kecamatan Lio Timur.
Awalnya, setelah dirinya terpilih sebagai Community Organizer (CO) desa Wolosambi rasa senang serta bangga tersirat jelas melalui senyum khasnya yang dihiasi kumis tipis. Karena baginya tugas sebagai CO sangat baik terutama menambah pengetahuan serta pengalaman bagi dirinya nanti.
Setelah mengikuti pelatiahn di Ende yang difasilitasi oleh FIRD, laki-laki bertubuh tegap ini mulai merasakan manfaat karena setalah pulang dari pelatihan dirinya harus mendata anak-anak cacat di desa Wolosambi. Dari rumah ke rumah, kampung ke kampung  merupakan kegiatan awal setelah pulang pelatihan.
Ada satu cita-cita yang terpendam dalam dirinya ketika menjalankan aktifitas sehari-hari, yakni mendirikan Lembaga Pendidikan Ankan Usia Dini (PAUD) bagi anak-anak di desa Woloambi desa trecinta. Setelah berdiskusi yang cukup lama dengan pengurus FIRD, akhirnya tercapailah cita-cita untuk mendirikan PAUD. Berasama tokoh masyarakat, Kepala Desa serta warga, dibentuklah PAUD di desa Wolosambi.  Tepatnya tanggal 5 Januari 2009.
Memang benar peribahasa yang mengatakan, kalau membuat itu gampang tapi merawat susah. Usia 2 tahun bagai bayi yang baru belajar berjalan. Langkah selanjutnya yang harus dipikirkan laki-laki yang gemar dengan humor yakni insentif bagi para pendamping. Memang benar, karena dengan jumlah murid sebanyak 28 orang yang didampingi 1 orang pendamping ternyata sangat sulit. Sulitnya yakni bagaimana harus menyakinkan orang tua untuk membayar iuran wajib/bulan serta berdisukusi dengan kepala desa tentang insentif bagi pendamping. Karena  ilmu yang diberikan tidak sebanding dengan hak yang diperoleh para pendamping.
Beruntung memang, setiap ide atau gagasan serta kemapuan menyakinkan setipa orang ternyata membuahkan hasil. Sang pendamping, sebut saja Ibu Maria Goreti tidak menuntut insentif yang diberikan tapi terpenting menurut Ibu, orang tua harus mengantar anaknya setipa hari untuk mengikuti proses belajar mengajar.
Tidak sia-sia upaya sang icon desa Wolosambi ini. Setelah kurang lebih berjalan dua tahun, hasilnya telah diperoleh. Pertama, anak-anak sudah bisa bernyanyi, membaca, berdoa, baca puisi. Kedua, dukungan pun mulai mengalir dari tinkat kabupaten, kecamatan sampai kepala desa. Ketiga, orang tua telah memandang bahwa pentingnya pendidikan bagi anak usia dini sejak dini sebelum masuk sekolah dasar. Keempat, saat ini sudah ada tiga orang pendamping yang mengajar di PAUD Wolosambi .
Ketika ingin melangkah pergi, Jhoni Balu  nama laki-laki itu, buru-buru berhenti saat namanya dipanggil oleh Gong Flores. Mau kemana? Sesaat itu juga Om Jhoni menjawab, ke POSKESDES mau lihat kegiatan belajar dan mengajar PAUD  SEDANG MEKAR………(saverb)

Minggu, 16 Januari 2011

TIM SIAGA BENCANA DAN RELEVANSINYA BAGI KENYAMANAN MASYARAKAT



ALIM0004.JPGKata bencana selama ini selalu mengiang di telinga banyak orang. Kata itu didengar ketika didengar dan dialami oleh manusia. Selama ini, media-media (cetak dan elektronik) sangat getol menayangkan dan memberitakan bahwa bencana terjadi di mana-mana di dunia. Di Brazil terjadi banjir yang sampai hari ini diberitakan 500-an orang meninggal, di Filipina Timur ada 40-an orang meninggal, dan di Australia (Quensland) ada 50-an orang meninggal dunia. Angka-angka ini tidak termasuk yang hilang. Demikian juga dengan asset-aset kehidupan lainnya yaitu ekonomi dan infrastruktur. Ini kenyataan-kenyataan media yang sempat terbaca dan terdengar di telinga kita.
Indonesia? Juga tidak luput dari ceritera bencana. Cuaca ekstrim menghampiri beberapa wilayah di Indonesia sekarang ini. Peringatan untuk tidak boleh berlayar dan melaut terdengar di mana-mana. Contohnya di Nusa Tenggara Timur. Untuk beberapa hari ke depan, para nelayan tidak boleh melaut karena tingginya gelombang bisa membahayakan para nelayan dan semua kekayaannya. Tanggal 11 januari 2011, terjadi gelombang pasang di desa Nangahale – Kecamatan Talibura – Kabupaten Sikka. Akibat dari gelombang pasang itu ada beberapa sekolah rusak, rumah-rumah penduduk, rumah masak garam, perahu-perahu, dan juga pohon-pohon tumbang. Akibat lanjutannya adalah bahwa masyarakat harus mengungsi untuk menyelamatkan diri dari terjangan gelombang pasang.
Semua ceritera di atas merupakan kenyataan yang sudah terjadi selama ini dan belum lama. Kenyataan-kenyataan itu diterima untuk dikelola sedemikian rupa sehingga bisa menjadi pelajaran buat semua orang yang masih mendiami bumi pertiwi. Bagaimana mengelola kenyataan-kenyataan itu. Responding, merupakan langkah berikut yang harus dilakukan oleh masyarakat sekarang ini. Caranya yaitu dengan melakukan banyak hal yang bermuara pada usaha Penanggulangan Risiko Bencana (PRB). Usaha-usaha bisa berupa peningkatan kesadaran masyarakat, peningkatan pengetahuan/pengalaman/keahlian masyarakat dan kegiatan-kegiatan fisik lainnya. Kegiatan-kegiatan fisik bisa berupa pengelolaan sampah, penanaman pohon, dan pembangunan pemecah ombak. Kerja-kerja seperti ini memang sangat berat untuk dilakukan sendiri-sendiri.
Pekerjaan yang berat, kalau dilakukan bersama-sama akan menjadi ringan. Untuk mengerjakan kerja-kerja fisik harus membentuk suatu persatuan yang kuat. Persatuan membuat kuat. Persatuan itu harus dalam nada relasi. Membangun relasi horizontal dan vertical antara masyarakat. Arah horizontal bisa antara masyarakat dengan masyarakat dalam komunitas. Sedangkan arah vertical bisa terjadi antara masyarakat dengan komponen-komponen lain yaitu pemerintah, sekolah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tokoh Agama, dan tokoh masyarakat. Setiap komponen harus berkontribusi dalam penanggulangan risiko bencana.
Pada hari Jumat, tanggal 14 Januari 2011, teman-teman dari Flores Institute for Resources Development (FIRD) menyusuri jalan yang tidak jauh dari bibir pantai menuju sebuah sekolah dasar yaitu Sekolah Dasar Inpres Paupanda I. Di sana merupakan tempat yang ditetapkan sebagai ajang dilakukannya pertemuan pembentukan Tim Siaga Bencana Kelurahan (TSBK) Tanjung. Satu demi satu terdengar bunyi mesin kendaraan yang dikendarai peserta pertemuan. Tidak lama kemudian, datanglah bapak Lurah Tanjung menambah jumlah orang yang sudah berdiri jejer di teras SDI Paupanda I. Tepat pukul 15.45 wita pertemuan pembentukan TSBK pun dimulai dengan sapaan awal yang dibawakan oleh bapak Lurah Tanjung. “Saya sangat senang dengan perhatian yang diberikan oleh LSM FIRD. FIRD telah memperhatikan kami di sini dengan mendatangi kelurahan kami. Kami harap, FIRD tetap memperhatikan kami untuk waktu-waktu selanjutnya”, demikian sepatah dua kata terucap oleh bapak Lurah pada kesempatan pertemuan hari itu.
FIRD sebagai Lembaga yang memiliki perhatian untuk sesama masyarakat, sejak tahun lalu sudah berada bersama masyarakat di dua kelurahan di Kecamatan Ende Selatan – kabupaten Ende yaitu kelurahan Paupanda dan kelurahan Tanjung. Dua kelurahan ini berada tepat di lereng gunung Ia dan di bibir pantai. Dua kelurahan ini sudah sangat rentan dengan bencana kalau terjadi letusan gunung Ia dan gelombang pasang.
ALIM0002.JPGMasyarakat sudah mengetahui dan menyadari bahwa daerah di mana mereka berada sangat rentan dengan bencana. Terbersit dari raut wajah mereka akan pentingnya tim yang harus siap sedia menghadapi situasi apa saja yang bisa mengancam hidup dan kehidupan masyarakat. Owen, begitu dia biasa dipanggil mengatakan bahwa pembentukan TSBK sangat relevan bagi hidup dan kehidupan masyarakat. “TSBK merupakan tim yang terdiri dari orang-orang yang siap sedia kalau terjadi bencana. Kelurahan kami sangat dekat dengan gunung Ia (masih aktif) dan pemukiman kami yang sangat dekat dengan pantai. Kami bersyukur dan berterimakasih dengan dibentuknya tim ini. Ini sangat penting untuk kami di sini”.
Pada akhir pertemuan itu, Bapak Lurah sekali lagi menyampaikan ucapan terimakasih kepada FIRD yang telah memfasilitasi pembentukkan TSBK. Diharapkan, bahwa ke depan ada kegiatan-kegiatan produktif yang bisa membuat masyarakat merasa nyaman di tengah ancaman bencana. (koko)