Selasa, 22 Maret 2011

kOMUNITAS WATUNESO BERTEKAD PERANG TERHADAP BENACANA

Tanggal 11 Maret 2011 memang hari begitu naas bagi saudara kita yang bertempat tinggal di kecamata Lio Timur. Hujan yang mengguyur selama 4 jam ternyata menghadiakan masyarakat dengan kehadiran banjir bandang yang memporakporandakan tanaman pertanian serta tanaman komoditi masyarakat. Tercatat, banjir bandang mengamuk di 2 desa dan satu kelurahan, yakni desa Woloaro, Hibatuwa serta kelurahan Watuneso, dengan kerugian yang dialami sekitar ratusan juta. 

Belajar dari pengalaman,  masyarakat mulai sadar akan bahaya, berawal dari keinginan  sekelompok masyarakat melakuakn kerja bhakti  disekitar DAS Watuneso. Karena menurut hasil pengamatan dari beberapa kelompok masyarakat termasuk di dalamnya tokoh adat (Mosalaki) Watuneso bahwa risiko yang diredam dari banjir beberapa hari lalu karena masih kokohnya tembok penyokong serta  bronjong yang dibangun di pesisir DAS Watuneso. Sehingga, menurut hasil pengamatan maysarakat beberapa lahan pertanian serta komoditi disepanjang sungai masih terselamatkan. "Iya benar sekali kami sangat beruntung dengan adanya tembok ini kalau tidak ada tembok ini mungkin air akan masuk ke kampung karena posisi kampung lebih rendah, ungkap Bapak Jhoni mosalaki Watuneso.    

Jumat, 18 Maret 2011, hampir sekitar liampuluhan orang masyarakat Watuenso bergotong royong membangun kembali tembok penyokong yang hampir rubuh akibat dari hantaman banjir. Tua, muda, laki-laki, perempuan turut ambil nagian dalam kerja tersebut. Kalau tembok ini tidak segera disokong dengan batu-bari di sisi dekat dengan air maka kalau terjadi banjir lagi tembok ini akan hancur dan terbawa banjir, ungkap salah satu peserta perempuan yang hadir saat itu.

Peran Adat
Pada kesempatan yang sama, ketika tim kami berhasil berdiskusi dengan tokoh adat Watuneso bapak Jhoni, dalam  kesempatan itu juga , ada keinginan yang kuat dari beliau untuk kembali menegakan beberapa aturan adat yang sangat berhubungan dengan alam semesta. Menurutnya lagi, dalam waktu yang t idakterlalu lama beliau akan menghimpun semua keluarga besar Watineso (Faiwalu  ana halo)  termasuk keluaraga besar yang terdiri dari beberapa rumpun keluarga sebut saja salah satu rumpun keluarga Iju Mbeke untuk berkumpul bersama dengan rumpun keluarga yang lain secara bersama-sama melakukan satu kegiatan besar, yakni melakukan penanaman anakan bambu disepanjan DAS Watuneso sejauh 4 km. Karena menurutnya lagi, apabila disepanjang DAS ini ditanami tanaman bambu maka, risiko yang ditimbulkan akibat dari banjir dapat diminimalisir. Selain itu, memang sangat dibutuhkan kerjasama yang baik antara pemerintah desa, tokoh adat serta semua kelompok masyarakat sehingga kejadian banjir yang terjadi satu minggu yang lalu dapat dihindari. 
che





  

BANJIR BANDANG DI KECAMATAN LIO TIMUR 11 MARET 2011












Rabu, 02 Maret 2011

Info

Perubahan iklim akan berdampak pada kehidupan kita seperti:
1. Ketahanan Pangan Terancam: Produksi pertanian tanaman pangan dan perikanan akan berkurang akibat banjir, kekeringan , pemanasan dan tekanan air, kenaikan air laut, serta angin yang kuat. Perubahan Iklim juga akan memperngaruhi jadwal panen dan jangka waktu penanaman. Peningkatan suhu 1 derajat Celsius diperkirakan menurun panen padi sebanyak 10%
2. Dampak lingkungan: Banyak jenis makhluk hidup akan terancam punah akibat perubahan iklim dan gangguan kesinambungan wilayah ekosistem. Terumbuh karang akan kehilangan warnah akibat cuaca panas, menjadi rusak atau bahkan mati karena suhu tinggi.
3. Risiko Kesehatan: Cuaca yang ekstrim akan mempercepat penyebaran penyakit baru dan bisa memunculkan penyakit lama. Badab kesehatan PBB memperkirakan bahwa peningkatan suhu dan curah hujan akibat perubahan iklim sudah menyebabkan kematian 150.000 jiwa setiap tahun. Penyakit seperti malaria , diare, dan deman berdarah diperkirakan akan meningkat di negara tropis seperti Indonesia.
4. Air: Ketersediaan air berkurang 10%-30% di beberapa kawasan terutama di daerah tropik kering. Kelangkaan air akan menimpa jutaan orang di Asia Pasifik akibat musim kemarau berkepanjangan dan intrusi air laut ke daratan.......

SENTUHAN TANGANMU DAMAIKAN HATIKU

 
Cukup dingin udara siang itu di desa Golo Lobos. Angin sepoi-sepoi selalu datang menyapa siapapun tamu yang datang. Lima menit ketika kami mengijakan kaki di desa tersebut, sesaat itu juga puncak gunung Pocoranaka menunjukan dirinya tanpa beralasakan sebatang pohon pun yang menghiasi puncak gunung tersebut.
Dibalik rumah mungil muncul ibu muda, dengan penampilan apik, Redaksi Gong Flores menyapa. Dengan senyuman yang khas ibu itu lalu duduk sambil memperhatikan sekeliling, karena merasa dirinya menjadi pusat perhatian. Benar saja karena Ibu Ida Widyawati dalam waktu 30 menit akan ditanyai oleh Gong Flores tentang partisipasinya mengikuti pelatihan Pertolongan Pertama Gawat Darurat (PPGD).
Saya merasa ada yang beda setelah saya pulang dari Ende setelah mengikuti pelatihan PPGD, walaupun tidak semuanya saya tahu tapi lumayan buat kami yang ada di desa belajar tentang pertolongan pertama.. Sambil duduk di teras rumah ditemani dinginya angin, banyak hal yang saya peroleh dari pelatihan tersebut karena disana (Ende) saya dapat bertukar informasi, pengetahuan serta pengalaman dengan kwan-kawan dari Ende, Lembata yang mungkin punya pengalaman yang beda dengan kami di Manggarai. Terutama saat praktek, ternyata bambu atau batang pisang bisa juga dipakai untuk menolong korban patah tulang sebelum di bawah ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. Selain itu saya juga mengetahui bagaimana seharusnya menolong korban pingsan, terutama langkah-langkah yang harus dilakukan dari awal sampai akhir.
Ada satu kesan yang palig unik menurut saya selama mengikuti pelatihan,, yakni rasa keakraban serta suasana kekeluargaan sangat dijunjung tinggi, padahal kami datang dari wilayah yang berbeda........
Sedikit rasa malu-malu ketika ditanya tentang dirinya mampu mengfasilitasi setelah pulang pelatihan dari Ende, Ibu dengan usia 37 tahun memaparkan, sebenarnya saya sendiri agak ragu apakah saya bisa memberi pelatihan kepada masyarakat desa Golo Lobos , namun berbekal dorongan dari suami serta semangat untuk melayani akhirnya pada tanggal 16 Desember 2010, bertempat di kantor desa saya dibantu oleh rekan-rekan Community Oragnizer (CO), mulailah saya memberikan materi kepada masyarakat desa yang diawali dengan paparan tentang tujuan dari pelatihan tersebut serta capaian dari pelatihan PPGD.
Pada saat peragaan, masyarakat merasa heran kalau bahan lokal seperti bambu, batang pisang dapat menjadi alat yang dapat membungkus korban patah tulang atau tangan. Selama ini masyarakat belum mengetahui secara betul teknik-teknik khusus menolong korban yang pingsan, serta bagaimana mengangkat korban yang tidak bisa berjalan serta menggendong korban.
Ketika menjawab pertanyaan yang ditanya tentang perasaan setelah melatih masyarakat, dengan senyum yang lembut dari ibu yang kini sudah mempunyai 3 orang anak ini, saya merasa puas dan bangga kalau saya dapat memberikan pengetahuan atau pengalaman saya kepada masyarakat di desa, dan dalam hati kecil saya berkata kalau kita mau belajar ternyata kita bisa juga melakukan sesuatu untuk kepentingan masyarakat banyak terutama masalah kemanusiaan. Apabila ada kesempatan lagi memberikan informasi atau pengetahuan kepada orang lain, dengan senang hati saya akan melakukan dengan tulus ...................che

SAYA MERASA SENANG KARENA BISA MEMBANTU ORANG LAIN

Bencana memang tidak mengenal orang, waktu serta status sosial kita, ketika datang dan menerjang kita. Namun kita sebagai manusia harus selalu waspada serta mengantisipasinya agar risko yang ditimbulkan dapat ditekan seminim mungkin kalau perlu tidak ada.
Berikut ini petikan wawanacara Redaksi Gong Flores dengan Ibu Maria Sirce Demo Community Organizer (CO) desa Gololobos Kecamatan Pocoranaka kabupaten Manggarai Timur.
 
Selamat Pagi Ibu apa kabar :GF
Selamat pagi juga, kabar baik
 
Kenapa ibu tertarik sebagai pendamping pada program bencana di desa Gololobos? GF
Terus terang saya sangat merasa terimakasih kepada pemerintah desa saya serta TIM FIRD Manggarai karena mereka sudah percayakan saya sebagai Community Organizer. Banyak hal serta pengetahuan yang saya peroleh dari mengikuti kegiatan ini. Jujur saya selama ini belum kenal dengan istilah bencana hanya kenal saja tapi tidak paham apa itu bencna sebenarnya serta bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengurangi risikonya.
 
Kira-kira menurut ibu bencana apa yang ada di desa ibu apabila terjadi nanti? GF
Setelah saya pelajari dari FIRD, dikatakan bencana kalau ada risiko yang ditimbulkan kalau belum ada maka itu disebut ancaman. Nah kalau di desa saya ancaman nyata yang ada yakni gunung api Pocoranaka serta tanah longsor. Kedua ancaman ini sangat berpotensi terjadi sewaktu-waktu. Gunung Pocoranaka misalnya pernah meletus 1987, kalau tanah longsor, Manggarai ini sangat rentan karena tanah di desa kami sangat labil strukturnya. Apalagi musim hujan seperti sekarang ini kami sangat waspada terutama hujan sudah berlangsung 2-4 jam.
 
Selama bergabung dan punya pengetahuan cukup, apa yang dapat ibu lakukan di desa? GF
Sudah lumayan cukup pengetahuan yang diperoleh walaupun tidak menguasasi seluruhnya namun saya sudah percaya diri untuk melakukan di desa saya. Saya kadang-kadang inisiatif langsung datang ke dusun-dusun mengsosialisasi dan berdiskusi dengan masyarakat di dusun terutama orang-orang tua yang ada dan menanyakan peristiwa-peristiwa apa saja yang pernah terjadi 10-20 tahun kebelakang.
 
Kenapa harus sosialisasi dan diskusi? GF
Karena saya merasa kalau masyarakat belum mengetahuai pengetahuan dasar tentang bencana maka sangat sulit kita mengajak mereka untuk melakukan sesuatu untuk mencegah terjadi bencana. Nah saat sosialisasi saya dapat berdiskusi dan kira-kira saya dapat mengetahui bagaimana respon masyarakat. Karena untuk mengurangi risiko bencana masyarakat harus lebih dahulu mengetahui ancaman , kerentanan, serta kapsitas yang dimiliki di desa.
 
Apa tindakan konkrit yang sudah ibu lakukan di desa Gololobos? GF
Di desa Gololobos, kami sudah membentuk Tim Siaga Bencana Desa atau TSBD serta beberapa rencana aksi masyarakat yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini. Dan setiap bulan kami melakukan diskusi-diskusi tentang bencana dan penyebabnya serta berubahan iklim yang saat ini lagi ramai dibicarakan.
Apa dasar pemikiran sehingga ibu bersama rekan membentuk TSBD serta diskusi tiap bulan di desa? GF
Saya sendiri sebelum bergabung dengan program ini juga bingung kira-kira apa yang harus dilakukan oleh masyarakat apabila terjadi bencana, karena informasi yang saya lihat dan saya baca di media tentang bencana ternyata sangat takut dan sedih apabila ada korban jiwa dari keluarag kita. Nah atas dasar itulah saya beranggapan kalau masyarakat di desa saya harus mengetahui lebih banyak tentang kebencanaan. Setelah bergabung dengan FIRD ada bekal ilmu yang diperoleh maka di desa kami ternyata harus punya wadah/oraganisasi yang menangani bencana. Berdasarkan musyawara mufakat di kantor desa, akhirnya kami membentuk TSBD.

Apa suka dan duka yang ibu alami selama bergabung dengan FIRD? GF
Jujur saya harus katakan bahwa selama bergabung banyak hal yang saya alami. Misalnya ketika pertemuan yang dinjanjikan tiba-tiba batal saya sangat emosi apalagi saya sudah bilang ke suami dan anak-anak kalau hari rabu (misalnya) kami ada pertemuan di dusun. Kalau sukanya , menurut saya dan saya pikir selama ini bahwa pengetahuan serta pengalaman seperti ini sangat sulit kita peroleh secara cuma-cuma. Terus selama mengikuti kegiatan ini saya menjadi lebih berani berbicara di hadapan orang banyak.
 
Apa kesan yang paling ibu rasakan selama mengikuti kegiatan ini?GF
Ternyata memimpin orang banyak tidak gampang dan butuh kesabaran, dan satu lagi harus bijak .
 
Bagaimana dukunga dari keluarga? GF
Terutama suami saya dia sangat mendukung dengan tugas yang dilakukan oleh saya, dan selalu berpesan selalu jaga diri baik-baik, hati-hati. Sedangkan ke 4 anak saya mereka merasa bangga punya ibu yang masih peduli dengan masalah kemanusiaan serta senang dan tanpa beban menghadapi rutinitas yang harus menghadapi orang banyak.
 
Terimaksih ibu atas waktunya, GF
Terimakasih juga...semoga sukses selalu.....

BAK PENAMPUNG AIR HUJAN AKAN SELAMATKAN 324 JIWA

Desa Tewaowutung terletak di kecamatan Nagawutung kabupaten Lembata merupakan hasil pemekaran dari desa Penikenek tahun 2006 yang lalu. Masih muda memang bagai balita yang baru bertumbuh.
Sebagai desa baru pasti masih banyak kekurangan dan kelemahan yang musti harus dibenahi agar desa tersebut dapat membangun dirinya lebih cepat sehingga tidak ketinggalan dengan desa lain. Apalagi sampai saat ini hampir semua desa yang baru memekarkan diri masih mencari roh untuk perubahan terutama kesiapan masyarakatnya tidak lain tidak bukan yakni kapasitas masyarakatnya terutama pemimpin/kepala desa.
Salah satu masalah yang cukup vital bagi masyarakat desa Tewaowutung, yakni sarana air bersih yang digunakan konsumsi keluarga masih sangat minim. Apa sebab, 324 warga harus mengmonsumsi air dari satu sumber mata air, itupun dengan debit yang kecil. Sehingga rata-rata masyarakat harus mengkonsumsi air 1-10 liter/KK. Selain itu untuk kebutuhan mandi, mencuci masyarkat harus menggunakan air sumur yang dekat dengan laut, sehingga air masih terasa asin. Maka, menurut hasil analisis yang dihimpun masyarakat beserta aparat desa, tidak heran pada tahun 2004 masyarakat mengalami musibah wabah malaria sedangkan tahun 2009 masyarakat diserang KLB diare, walaupun tidak ada korban jiwa namun masyarakat masih mengalami trauma.
Untuk mengantisipasi kejadian lanjutan atau akan terjadi lagi masalah yang sama, maka masyarakat desa beserta aparat sudah mulai merancang berbagai kegiatan serta upaya apa yang harus dilakukan. Berbagai pertemuan serta diskusi dilakukan oleh pemerintah desa, sehingga pada kesimpulan terakhir yakni “Pembuatan Bak.....
Penampung Air Hujan” sebagai wadah untuk cadangan air bagi masyarakat terutama untuk digunakan mandi, mencuci serta kebutuhan MCK.
Namun bukan berarti masalah selesai, karena setelah dirancang biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan wadah tersebut cukup memakan biaya teruatama pembayaran upah bagi tenaga kerja serta tukang yang akan mengerjakannya. Total anggaran yang dibutukaham sekitar Rp 44.600.000-, sementara kondisi ekonomi masyarakat hanya mengandalkan hasil komoditi serta ladang yang penghasilannya tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Rata-rata penghasilan masyarakat hanya Rp 250.000-300.000/bulan belum termasuk untuk kebutuhan anak sekolah serta biaya kesehatan.
Tidak ada rotan akar pun jadi. Kira-kira itulah istilah yang pas atas semangat serta tekad masyarakat desa Tewaowutung. Bagaimana tidak, demi kesejateraan serta kesehatan masyarakat terjamin, masyarakat pada saat nya nanti akan melakukan gotong royong serta usaha swadaya dari seluruh komponen desa termasuk perempuan dan laki-laki yang ada di desa. Sebagai bukti konkrit , masyarakat desa sepakat untuk kebutuhan bahan-bahan lokal seperti pasir,batu, tenaga kerja, tukang ditanggung oleh masyarakat setempat dengan kisaran biaya sekitar Rp 34.600.000 sedangkan untuk kebutuhan bahan material lainnya ditanggung oleh biaya hibah dengan besarannya sekitar Rp 10.000.000-, . Luar biasa semangat juang dari masyarakat desa tersebut, walau dengan kondisi ekonomi yang serba pas-pasan mereka terpaksa harus melakukan itu, karena sadar akan kebutuhan air bersih merupakan kebutuhan yang sangat vital dalam kehidupan sehari-hari.........
salut untuk

WAH..BAMBU BISA SELAMATKAN PATAH TULANG?

Tidak percaya memang kalau belum dibuktikan atau melihat dengan mata sendiri. Tapi apapun argumentasi anda komunitas di kabupaten Manggarai dapat membuktikan sendiri kalau bambu dapat menyelamatkan korban patah tulang pada kaki atau tangan.
Tanggal 18 Desember 2010, masyarakat desa Kentol kecamatan Cibal kabupaten Manggarai telah membuktikan dengan melakukan beberapa rangkaian kegiatan yakni pelatihan Pertolongan Pertama Gawat Darurat (PPGD) . Pelatihan yang difasilitasi oleh Tim Siaga Bencana Desa (TSBD) tersebut memberikan materi dasar tentang bagaimana masyarakata atau komunitas memberikan pertolongan pertama terhadap korban patah tulang kaki atau tangan dengan menggunakan bahan-bahan lokal yang ada di komunitas sehingga penderita teresebut tidak menjadi lebih parah. Pelatihan tersebut sangat berarti bagi masyarakat karena dalam keadaan terebut masyarakat atau komunitas harus mampu memanfaatkan bahan-bahan lokal yang ada tidak perlu panik dengan membiarkan penderitaan penderita lebih parah.
“Kami sangat senang dengan mengikuti pelatihan ini, karena ini sangat bermanfaat bagi kami terutama saat terjadi kecelakaan atau apapun bentuknya, apalagi disekitar kampung kami sangat banyak bahan-bahan lokal yang dapat kami pergunakan, papar seorang peserta. Ole...padahal bisa pakai bambu kalau tolong orang yang patah tulang sebelum di bawah ke rumah sakit, kagum seorang peserta berusia setengah baya.
Kearifan lokal memang sudah semakin pudar manfaatnya. Hal ini karena sudah munculnya penggunaan alat-alat hasil teknologi yang menjadi populer di saat ini. Tidak heran memang kalau saat ini penggunaan bahan-bahan lokal yang ada di sekitra kita menjadi berkurang. Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi serta informasi yang diberikan. Padahal, kearifan lokal merupakan kekayaan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang serta sangat ramah lingkungan dan mudah diperoleh disekitar kita.
Cukup serius peserta yang terlibat dalam pelatihan tersebut. Sampai ibi-ibu yang lanjut usia pun mengikuti dengan antusias tat kala fasilitator memperagakan teknik-teknik penggunaan serta bagaimana menempelkan bambu kepada korban yang diperankan oleh peserta juga.
“Cukup antusias peserta megiktui pelatihan ini. Mereka merasa ini adalah ilmu yang sangat sulit diperoleh . Dan pada saat ini mereka merasa tidak percaya kalau bambu atau bahan lokal lain dapat menjadi alat pertolongan pertama pada korban patah tulang”, ungkap Marsel faslitator pelatihan tersebut.
Selain itu, bambu merupakan tanaman lokal yang mudah diperoleh di tingkatan komunitas , sehingga sangat baik bagi masyarakat setempat untuk mengetahui lebih jauh tentang fungsi dari bahan-bahan lokal selain bambu karena hampir semua bahan lokal sangat mudah dijumpai di setiap sudut desa termasuk juga biaya yang dibutuhkannya pun relatif murah bahkan gratis tidak perlu mengeluarkan ongkos untuk membelinya........che

ADA APA DENGAN 14-16 DESEMBER 2010 DI DESA TANA LI

Bunyi kentongan bambu yang berukuran sekitar 60 cm bersahut-sahut dari sudut kampung. Di sisi lain teriakan histeris dari sekelompok ibu-ibu serta anak-anak. Banjir, banjir, banjir, banjir datang. Ayo lari semua. Sepuluh menit kemudian seisi kampung Tana Li keluar berhamburan dari rumah mereka karena dari arah Timur banjir telah mengepung kampung. Tua, muda, laki-laki , perempuan, anak-anak berkumpul di halaman rumah adat. Sesaat kemudian mosalaki (Tokoh Adat) memerintahkan masyarakat setempat mengungsi ke tempat yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri dari amukan banjir.
Masyarakat beduyun-duyun ke tempat lebih aman, tidak ketinggalan juga ada yang membawa ternak berupa sapi serta ada juga yang menolong ibu hamil, serta beberapa penyandang cacat yang terlihat buru-buru meninggal kampung . Tolong, tolong, tolong sesekali terdengar teriakan dari sudut tenda pengungsi. Seorang ibu yang sedang hamil sedang berteriak minta pertolongan. Di depan tenda terdengar tangisan histeris seorang ibu karena suaminya diberitakan telah meninggal dunia. Di pojok kiri seorang wanita tampak sibuk mencacat korban jiwa serta masyarakat yang belum ditemukan.
Apakah ada makanan yang bisa dimakan atau air panas untuk suguhkan bagi korban yang pingsan? teriak laki-laki bertubuh kekar. Sedang dimasak pak, nanti sepulih menit lagi, jawab ibu-ibu yang berada di dapur umum.
Setengah jam kemudian, muncul seorang perempuan muda datang membawa secarik kertas dan siap melapor data yang dihimpun dan ditujukan kepada kepala desa. Sementara teriakan serta tangisan karena kepergian suami tercinta .....
masih terdengar di dalam tenda kuning.
Setelah menerima laporan dari humas, kepala desa langsung melaporkan peristiwa banjir bandang tersebut ke pihak kecamatan yang terdekat. Dengan menggunakan telepon genggam, segera mungkin kepala desa melaporkan kejadian ke tingkat kecamatan dan dilanjutkan ke tingkat kabupaten. Sementara itu, koordinator TSBD masih berkonsultasi dengan pengurus TSBD yang lain tentang bagaiamana dengan persediaan makanan bagi pengungsi yang berjumlah sekitar 100 orang yang didominasi oleh anak-anak dan orang tua. Terutama anak-anak, persediaan makanan untuk kelompok balita hanya untuk satu malam saja sedangkan untuk malam selanjutnya belum dapat terpenuhi karena kondisi jalan serta jembatan terputus oleh terjangan banjir bandang.
Di dapur umum, ibu-ibu tampak sibuk menyiapkan makan seadanya berupa makanan lokal seperti pisang, ubi serta beberapa kilogram beras yang berhasil diselamatkan itupun hanya untuk persediaan satu malam saja dengan jumlah pengungsi yang cukup banyak. “Begini saja kita dahulukan anak-anak serta keompok lansia, ungkap ibu muda di tengah kegelisahan melanda posko pengungsi.
Ditengah kepanikan serta keseriusan, tiba-tiba terdengar suara yang keluar dari toa mengumumkan “Ayo semua kembali ke tenda, kita semua ke kampung karena kegiatan simulasi kita sudah selesai serta kita mengevaluasi semua kegiatan kita hari ini bersama reka-rekan wartawan yang datang dari Jakarta dan Kupang......