Minggu, 29 Mei 2011

MENELUSURI JALAN MEMBELAH KABUT UNTUK SEBUAH CITA-CITA


Hari itu udara dingin menyelimuti wilayah kawasan kota Ende dan sekitarnya. Tidak berapa lama hujan turun dengan derasnya membasahi tanah serta pohon-pohon. Seskali terdengar bunyi gemuruh di langit  diikuti petir yang silih berganti datang menghampiri isi bumi.

Tepat jam 14.00 wita dengan meggunakan mobil kijang butut , kami menyusuri jalan sambil sesekali melihat ke arah langit yang masih hitam pekat. Rasa ragu dan wawas selalu menghantui perjalanan kami. Hari ini rute perjalanan menuju arah timur kota Ende dengan jarak cukup jauh sekitar 95 km, tepatnya kecamatan Lio Timur desa Wolosambi.

Ada sebuah misi yang harus direalisasikan. Menurut informasi yang diperoleh dari tim kami yang ada di desa Wolosambi, bahwa masyarakat desa tersebut sangat menginginkan perubahan terutama adalah bidang pendidikan. Apa sebab, pertama, menurut catatan lapangan menujukan bahwa desa Wolsambi belum memiliki wadah pendidikan bagi anak usia dini. Kedua, hampir semua anak usia dini yang masuk kelas I sekolah dasar tidak bisa sama sekali mengenal huruf, bernyanyi, atau membaca puisi. Oleh karena itu, menurut masyarakat desa Wolosambi beserta pemerintah desa sangat menginginkan wadah tersebut untuk menjadi bekal anak mereka sebelum masuk sekolah dasar.

Hujan belum juga reda ketika kami memasuki kawasan Detosoko. Padahal menurut informasi yang kami peroleh dari rekan kami yang ada di kawasan tersebut kalau hari ini langit cerah dan tidak ada hujan. Ternyata meleset jauh prakiraan itu, maklum saat ini memang hujan turun tidak mengenal musim padahal sekarang sudah memasuki bulan Mei seharusnya menurut jadual sebenarnya harusnya sudah memasuki musim panas. Apa itu karena perubahan iklim, entahalah.

Setelah meninggalkan wilayah Detusoko, informasi terbaru pun kami peroleh, kalau saat ini masyarakat di desa Wolosambi sudah menunggu kami untuk berdiskusi dan bercerita serta apa solusi yang tepat untuk perubahan yang cocok bagi desa tersebut dalam bidang pendidikan untuk anak usia dini. Selama perjalanan tidak henti-hentinya kami bercerita dan berdiskuksi kira-kira bagaimana ide yang pas bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan tersebut sehingga masyarakat harus merasa memiliki. “Bagaimana untuk material lokal ditanggung oleh masyarakat sedangkan material non lokal ditangung oleh FIRD, ungkap Saverius Bapa selaku fasilitator di kawasan tersebut.

Setelah sampai di Wolowaru, hujan pun belum reda benar. Nampak rintik-rintik hujan masih membasahi bumi. Kabut tebal masih menghiasai langit serta genangan air ada di setiap  tepi jalan. Sekitar 25 km lagi kami akan tiba di Wolosambi, lumayan jauh memang mengingat jalan yang dilewati bayak kelokan serta masih ada titik yang rawan longsor yang harus kami lewati.

Tepat pukul 17.00 wita kami pun tiba dikampung Pu’u jita. Masyarakat sudah  berkumpul di rumah ketua RT kampung tersebut. Ada perempuan, laki-laki, orang tua, anak muda, anak-anak serta beberapa tokoh masyarakat yang hadir saat itu. Sama seperti di Ende dan Wolowaru, di kampung Pu’ujitapun hujan masih gerimis  diselimuti kabut yang cukup tebal serta di tepi-tepi jalan nampak genangan air hujan. Kelompok masyarakat yang datang pun dari semua kampung yang ada di desa Wolosambi. Sebut saja Tebowea, Jitapanda, Wolofeo, Wolosambi dan Pu’ujita, padahal kedatangan mereka dari kampung masing-masing ditemani  oleh gerimis hujan  serta menggunakan payung seadanya.

Sambil menunggu suguhan kopi serta teh hangat, diskusi pun dimulai yang diawali oleh bapak Jhoni dan diikuti oleh bapak Frans Buku selaku Badan Perwakilan Desa (BPD). Sayang pada diskusi ini tidak dihadiri oleh kepala desa karena beliau ada tugas. Hari pun makin malam diskusi pun terus berjalan. Di temani lampu neon 10 wat yang dialiri dari genset milik warga,  diskusi dilanjuti dengan tanya jawab serta bagaimana komitmen masyarakat untuk merenovasi gedung Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) serta Pos Kesehatan Desa (POSKESDES).  Tanpa melalui rembuk bersama, salah seorang peserta diskusi memberikan jawaban, bahwa: masayarakat siap untuk membangun gedung PAUD dan POSKESDES dengan cacatan untuk bahan non lokal ditangung oleh FIRD sedangkan bahan lokal ditanggung oleh masyarakat secara swadaya.

Suguhan kopi serta teh hangat sedang diedarkan kepada para peserta diskusi, kepastian yang harus diputuskan adalah kapan mulai dibangun mengingat pada bulan Juni minggu kedua  tahun ajaran baru akan dumulai, sehingga keputusan  diambil  tanggal 20 Mei 201 renovasi gedung  yang diikuti oleh semua lapisan masyarakat desa Wolosambi serta pejabat pemeintahan kecamatan Lio Timur serta beberapa undangan yang lainya.

Untuk diketahui saja, sampai saat ini  PAUD  masih menggunakan bangunan lama milik POSKESDES  desa Wolosambi dengan kondisi bangunan yang alakadarnya saja. Padahal minat orang tua untuk menyekolakan anaknya sangat tinggi. Sampai saat ini jumlah siswanya saja 20 orang termasuk di dalamnya 2 orang anak cacat. Walaupun letak PAUD dengan kampung-kampung cukup jauh, namun antusias orang tua untuk megantar anaknya masih sangat tinggi. Tercatat, kampung yang paling jauh saja di Wolofeo dengan kondisi jalan yang terjal dan tanjakan   mereka masih mau mengantar anaknya setiap pagi selama lima hari. Padahal dikampung tersebut ada satu anak cacat yakni cacat fisik harus jalan kaki setiap pagi.

Selepas diskusi sekitar pukul 21.00 wita, rasa lapar sangat  terasa dari pancaran raut wajah. Mereka pun bergegas pulang  ke rumah dengan membawa semangat untuk membangun desa   dan menelusuri jalan dan membela kabut malam untuk menyongsong desa Wolsambi yang lebih baik  dari  hari kemarin….

che